Kawasan TAHURA STS Jambi/foto: Doc IWO |
Aktivitas perusakan TAHURA tersebut diduga didalangi oleh pemodal-pemodal besar yang datang dari luar Provinsi Jambi. Seperti kejadian terbakarnya salah satu sumur minyak illegal di Desa Jebak, Kecamatan Muara Tembesi, dari informasi yang diterima Bulian.Id, sumur tersebut milik salah satu pemodal yang berasal dari Provinsi Sumatera Selatan.
Menanggapi hal itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jambi pun angkat bicara. Manajer Kajian WALHI Jambi, Dwi Nanto mengatakan, adanya aktivitas perambahan hutantentunya didasari oleh bisnis lingkungan.
“Kalau berbicara bisnis lingkungan, ada tiga aktor yang punya kepentingan. Kalau dari kacamata WALHI yakni Korporat, Pemerintah dan Masyarakat,” kata dia kepada Bulian.Id.
Namun, untuk perambahan dan aktivitas ilegal drilling di TAHURA tersebut, tentunya dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran hukum. Itu merupakan satu paket bisnis ilegal untuk mencari keuntungan.
“Kalau pemerintah mau mengatasinya, persoalan itu paling tidak ada dua cara yaitu pencegahan dan penanggulangan,” sambungnya.
Menurutnya, jika pemerintah dan aparat ingin melakukan penanggulangan, maka mereka wajib untuk membuka tabirnya dulu. Harus memetakan terlebih dulu aktor-aktor yang bermain di wilayah TAHURA STS Jambi.
“Sehingga kalau aktor-aktornya sudah didapat, penanganannya akan mudah. Karena masing-masing aktor akan berbeda penanganannya. Misalnya, aktor penyuplly BBM, penyupllay modal, jaringan target pasar. Itu penanganan hukumnya berbeda dengan masyarakat yang menggarap tapi berstatus buruh/pekerja kasar,” papar Dwi.
Sebab menurutnya, selama ini yang justru pelaku-pelaku paling sering ditangkap yaitu mereka yang berstatus pekerja kasar.
“Kalau sekarang kan disatukan, tahunya tangkap semua, tidak bisa seperti itu, gak akan selesai. Misal hari ini seribu orang, besok dua ribu orang ditangkap, penuh penjara Batanghari,” sebutnya.
“Kalau bisa sih, kalau mau sampai ke akar-akarnya ya dipetakan dulu, kemudian penanganan untuk aktor setiap levelnya berbeda,” sambung dia.
Dengan maraknya aktivitas perambahan di Kawasan TAHURA STS Jambi, secara otomatis masyarakat akan menilai bahwa selama ini terjadi pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah. Semestinya, jika sudah tahu pemda tidak mempunyai wewenang untuk melakukan penindakan, maka mereka harus melakukan pencegahan sejak dini.
“Sehingga jika ada pencegahan yang lalai, maka resikonya akan cukup berat, bebannya tinggi, resiko kerusakan lingkungan, resiko hukumnya yang diterima oleh masyarakat dan kelompok lainnya sangat berat,” bebernya.
“Dengan adanya faktor kelemahan itu, seperti terjadi pembiaran. Seharusnya diantisipasi dari awal oleh pemda, jika mengandalkan sumber daya nasional yang harapannya nasional akan turun atau mengirimkan polhut dan pengamanan. Jika itu tidak bisa dilakukan oleh pihak pusat dan tidak bisa diterima Pemda Batanghari, bagaimana?,” tambahnya.
Ada banyak resiko yang didapat jika aktivitas perambahan dan illegal drilling terus terjadi di Kawasan TAHURA STS Jambi, seperti lingkungan hidup menjadi kritis, bahkan penurunan status dari hutan lindung menjadi hutan produksi.
“Nantinya kalau sudah turun status, itu korporasi atau perusahaan akan masuk. Karena status hutannya turun, pemain jadi banyak. Akan terjadi perluasan kawasan hutan produksi, atau bisa jatuh ke perizinan restorasi,” kata Dwi.
“Begitu korporasi/perusahaan masuk, juga akan menimbulkan bibit konflik antara pihak perusahaan dan masyarakat yang sudah bermukim di kawasan itu,” pungkasnya. (ANI)